Friday, May 16, 2008

BBM Naik? Siapa Takut!

BBM Naik? Siapa Takut!

Dalam urusan BBM, celetukan Gus Dur 'gitu aja kok repot' kali ini bisa berlaku. Ya, harga BBM bersubsidi mau naik, kenapa mesti repot dan ribut? Tatap saja langit. Di sana ada solusi alternatif. Namanya matahari.

Setidaknya, kiat itu sudah dipraktikkan Dr M Nurhuda, peneliti bidang fisika dari Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur. Di tengah gejolak harga dan pasokan minyak yang kini melanda dunia, tentu termasuk Indonesia, ia terinspirasi memanfaatkan kekayaan alam yang adanya di langit.

Ringkas cerita, dari inspirasi yang dilanjutkan dengan proses penilitian itu, Nurhuda menemukan teknologi yang boleh jadi bakal menolong banyak orang. Apa itu? Kompor tenaga matahari. Ya, kompor yang dioperasikan dengan memanfaatkan energi matahari, pengganti energi minyak dan gas.

Nilai plus dari temuan Nurhuda terbilang banyak. Selain tidak memerlukan bahan bakar sama sekali, kompor matahari juga ramah lingkungan karena tidak mengebulkan asap dan bisa dikembangkan dalam skala besar untuk membantu masyarakat kurang mampu.

Energi yang bersumber dari panas matahari tersedia hampir di seluruh bagian permukaan bumi dan tidak kunjung habis. Penggunaan energi panas matahari tidak menghasilkan polutan dan emisi yang berbahaya bagi manusia maupun lingkungan.

Penggunaan energi matahari untuk pemanas air, memasak, mengeringkan hasil, dan kebutuhan lain, praktis mengurangi pemakaian energi minyak yang berasal dari fosil. Pemanas air tenaga matahari, misalnya, sangat sederhana sekaligus ekonomis.

"Pemasak bertenaga matahari banyak digunakan masyarakat di wilayah pedesaan di India, China, Afrika Tengah, dan Amerika Latin. Kami berharap, rekayasa teknologi murah dan simpel ini bisa dikembangkan untuk membantu masyarakat miskin," kata Nurhuda di Malang, Kamis (15/5).

Ada dua jenis pemasak matahari, yakni tipe kotak (box) dan tipe parabola. Tipe kotak banyak digunakan di Amerika Latin dan tipe parabola banyak dikembangkan di China.

Pengoperasian tipe kotak sangat simpel meski agak lambat sehingga dijuluki 'very slow solar cooker'. Untuk memasak nasi, tipe kotak ini butuh waktu 3-5 jam. "Tipe kotak ini tentu tidak praktis bagi sebagian besar masyarakat Indonesia," kata Nurhuda.

Lain lagi tipe parabola. Secara umum, waktu kerjanya lebih cepat, tapi juga lebih ruwet pengoperasiannya. Posisi panci harus ditempatkan menggantung pada titik fokus parabola.

Parabola harus terus menghadap matahari karena setiap saat perlu penyesuaian arah parabola agar bisa memperoleh sinar pantul maksimal dan selalu pada titik fokus.

Pembuatan pemasak matahari tipe parabola juga butuh banyak biaya. Kompor tipe parabola yang diproduksi Minto asal Madiun, misalnya, memerlukan banyak cermin datar, kerangka parabola, dan solar tracking. Harga jualnya Rp 3,5 juta per unit.

Di satu sisi, pemasak berenergi matahari ini jelas layak dijadikan alternatif. Menggali sumber energinya tak butuh biaya, jumlahnya tak terbatas, dan tak menimbulkan polusi. Tapi, perangkat memasaknya terbilang mahal dan sulit dijangkau masyarakat golongan bawah.

Melihat perbandingan ini, pemasak matahari tipe kotak yang lebih efisien tampaknya lebih cocok. Persoalannya hanya menyangkut jangka waktu memasak yang jauh lebih lama.

"Awalnya, kami mencontoh saja desain yang banyak dijumpai di internet, tapi ternyata pemasak matahari itu tidak berfungsi. Beras yang kami masak tidak kunjung matang meski telah dipanaskan dengan alat itu dari pukul 09.00 sampai pukul 15.00," ujar Nurhuda.

Setelah mempelajari lebih jauh, akhirnya muncul ide untuk mengoptimalkan bentuk panci. Pemasak matahari tipe kotak ini tidak beda jauh dari kompor biasa. Pemasak tipe kotak ini menanak nasi dalam waktu maksimal lima jam, tergantung kekuatan terik matahari.

Pembuatan pemasak berenergi matahari tipe kotak ini hanya butuh biaya Rp 300.000 per unit atau setara dengan rata-rata harga sebuah kompor gas.

Jadi, harga BBM bersubsidi mau naik, kenapa harus repot dan ribut? Sudah ada kok alternatif solusinya. Mau coba?
INILAH.COM, Jakarta –

No comments: