Saturday, December 1, 2007

Perang Candu, Mafia China dan Narkoba

Perang Candu, Mafia China dan Narkoba

Iwan santosa

Pertengahan abad ke-19 (1839-1842 dan 1856-1860) Tiongkok dibanjiri opium yang dibawa bangsa Barat, terutama pedagang Inggris-Perancis yang mengakibatkan puluhan juta rakyat jelata kecanduan narkotika.

Perang Candu satu setengah abad berlalu, Tiongkok yang menjadi korban perdagangan narkotika justru menjadi simpul perdagangan narkoba melalui jaringan mafia China, seperti terungkap dalam penangkapan jaringan Hongkong-Malaysia-Indonesia di Apartemen Taman Anggrek, Rabu (21/11), dengan barang bukti 490.802 butir ekstasi senilai Rp 49,08 miliar.

Kepala Polri Jenderal (Pol) Sutanto dalam jumpa pers, Jumat lalu, menjelaskan, jaringan internasional yang ditangkap dipimpin Albert alias Stephen warga Johor, dibantu Cheong Mun Yau dan Diong Chee Meng warga Ipoh, Perak, Malaysia.

"Mereka bermaksud membangun pabrik sabu dan ekstasi di Indonesia dengan mendatangkan teknisi dari China. Ini adalah jaringan mafia internasional yang tidak dapat dianggap remeh," kata Sutanto.

Pahlawan jadi penjahat

Semasa Perang Candu, mafia China yang dikenal sebagai Triad atau Tong aktif melawan hegemoni Barat, yang bersama rezim Dinasti Qing dianggap menginjak martabat Tiongkok. "Fan Qing Fu Ming-Jatuhkan Dinasti Qing Bangkitkan Dinasti Ming" adalah semboyan pergerakan Triad dari pelbagai klan. Mereka aktif menyokong kemunculan pergerakan nasionalis.

Waktu berlalu, Republik China (Zhong Hua Min Guo) muncul hingga akhirnya Republik Rakyat China (Zhong Hua Ren Min Gong He Guo) berdiri tahun 1949, Triad yang sudah tersebar ke penjuru dunia dan Asia Tenggara beralih peran dalam kegiatan ilegal: judi, prostitusi, dan narkotika.

Pendekatan kultural

Pengajar permukiman masyarakat Tionghoa yang kini mengajar bahasa Indonesia di Beijing, China, Eddie Prabowo Witanto, yang dihubungi Minggu menjelaskan, Triad mendominasi kawasan selatan Tiongkok dan menguasai pelabuhan-pelabuhan internasional, termasuk di Asia Tenggara.

"Hubungan Malaysia, Singapura, dan Medan, Sumatera Utara, sudah berlangsung sejak zaman kolonial hingga kini. Patut diingat bahwa pada tahun 1970-an dan 1980-an, aparat yang akan memangku jabatan penting harus mampu "lolos ujian" penempatan di Medan yang memiliki aroma mafia. Aparat, menurut Eddie, harus menggunakan pendekatan kultural dalam memerangi kejahatan Triad.

Peran intelijen sangat penting dalam persoalan ini untuk memetakan jejaring Triad di Selat Malaka yang menghubungkan Medan, Bagan, Batam, Singapura, dan Malaysia. Pemahaman hubungan klan dan permukiman masyarakat Tionghoa asal Tiongkok Selatan yang didominasi masyarakat Hokkian, Hakka, Gonghu, dan Teo Chew sangatlah penting.

Mantan jurnalis harian Sin Chew Jit Poh, Malaysia, mengakui adanya jaringan kuat Triad di Asia Tenggara. "Mereka bahkan menggunakan pemberitaan atau bagian tertentu dalam koran cetak untuk menyampaikan pesan rahasia," ujarnya.

Perekrutan tertutup, kode rahasia, dan jaringan terputus, itulah "hantu" yang dihadapi kepolisian Indonesia yang bekerja sama dengan Interpol.

Sekretaris National Central Bureau Interpol Indonesia Brigadir Jenderal Iskandar Hassan mengakui bahwa pihaknya menyiapkan sejumlah perwira polisi untuk mempelajari bahasa Mandarin serta membina kerja sama dengan kepolisian di Asia Tenggara dan Interpol.

"Kami memiliki perwira penghubung di Kuala Lumpur, Bangkok, dan Manila untuk pos Asia Tenggara. Penggunaan red notice atau pemberitahuan ke Interpol untuk memburu buronan di luar negeri juga cukup efektif selama ini," katanya.

Meski demikian, ia mengakui, pihaknya belum menggunakan pendekatan sosio-kultural dalam memahami jejaring Triad.

Direktur Direktorat Narkoba Polda Metro Jaya Komisaris Besar Arman Depari yang dihubungi terpisah mengakui, salah satu persoalan merajalelanya mafia China adalah lemahnya pintu gerbang masuk Indonesia, membuat polisi berulang kali menjadi "pemadam kebakaran".

"Belum ada koordinasi kuat di antara instansi terkait untuk memberantas narkoba. Polisi lebih sering bekerja sendiri karena lemahnya koordinasi," ujarnya.

Arman mengaku, pihaknya sudah kewalahan sejak setahun terakhir. Dari 9.000 kasus Narkoba setiap tahunnya, hanya 25 persen yang penanganannya dibiayai oleh negara, sementara selebihnya dibebankan ke polisi.

Direktur IV Narkoba Mabes Polri Brigadir Jenderal Indradi Thanos menegaskan, persoalan paling lemah sekarang ada di bagian hulu, yakni pintu gerbang masuk Indonesia. Di tingkat hilir, pelaksanaan eksekusi mati terpidana narkoba tersendat tak jelas dan membuat penjara semakin penuh. (Windoro Adi)


Media Indonesia Dongeng Panggung Kehidupan Jakarta

No comments: