Tuesday, July 29, 2008

Sisi Lain Pilpres Amerika

Sisi Lain Pilpres Amerika

Jika ada proses pemilu yang sangat menguras energi dan dana, maka itu terjadi di Amerika Serikat. Yang hendak kita sorot adalah pertarungan internal Partai Demokrat, yang kemudian mengerucut antara Hillary Clinton dan Barack H. Obama, yang pada akhirnya dimenangkan Obama. Masih akan ada konvensi Agustus, tetapi Obama sudah di atas angin.

Pemihakan John Kerry, famili Kennedy, Al Gore, dan banyak yang lain, termasuk cucu Eisenhower (Republik), kepada si kulit hitam itu makin memperparah posisi Hillary, yang semula begitu yakin akan memenangkan pertarungan. Sekarang pers Amerika mulai mengadu Obama dengan McCain, lawannya dari Partai Republik. Polling sementara menunjukkan keunggulan Obama.

Pemilihan presiden (pilpres) kali ini sungguh fenomenal, khususnya apa yang berkembang dalam tubuh Partai Demokrat. Dua calon terkuat, Hillary dan Obama, sama-sama kandidat pertama: Hillary perempuan pertama, Obama hitam pertama. Hillary pada akhirnya menghentikan kampanyenya sejak 2 Juni karena menurut tim suksesnya sudah tidak mungkin lagi mengejar Obama, dengan meninggalkan utang sekitar US$ 22 juta.

Utang ini dirasakan sangat berat, sekalipun tim Obama berjanji membantu pelunasannya. Secara lahiriah, sekarang antara Hillary dan Obama sudah ada gencatan senjata, dan belum lama ini keduanya tampil bersama untuk menunjukkan kekompakan partai dalam ancang-ancang menghadapi McCain, beberapa bulan lagi.

Tetapi tidak demikian dengan sang suami, Bill Clinton, yang sampai 27 Juni belum berteguran dengan Obama. Sisi inilah yang menjadi titik perhatian dalam Perspektif kali ini. Mengapa? Karena menarik. Biasanya emosi kaum lelaki lebih cepat reda dibandingkan dengan emosi perempuan.

Untuk pilpres Partai Demokrat kali ini justru terbalik. Hillary sudah "beradu pipi" dengan Obama, sedangkan Bill Clinton masih menjaga jarak, sehingga foto wajah mantan presiden yang ditampilkan harian The Huffington Post, edisi 27 Juni, sungguh tidak sedap dipandang. Wajah itu tampak sengit, dua bibir bertaut, mata tidak terbuka penuh, persis menyimpan kegetiran yang dalam dan perih. Dan memang perih. Maka, panorama ini menjadi sasaran empuk pers dan para pengamat untuk memberi seribu satu tafsir.

Tafsir yang beragam itulah yang direkam penulis Thomas B. Edsall dalam artikelnya dengan judul "It's My Party, I'll Cry If I want To" (The Huffington PostOnline, 27 Juni). Judul itu adalah ungkapan Bill Clinton, "Ini Partai Saya, Saya Akan Menjerit/Menangis Jika Saya Mau". Ungkapan ini menggambarkan betapa beratnya beban mental Clinton akibat kekalahan istrinya, yang dulu pernah disakitinya dalam peristiwa dengan karyawati Gedung Putih yang menghebohkan itu, tetapi Hillary kemudian memaafkan.

Inilah di antara tafsiran spekulatif itu. Bill Clinton lebih kompleks. Dia ingin kehormatan, maaf, dan kasih dari kubu Obama. Rasa sakit pihak Clinton belum pulih. Itulah sebabnya, kedua orang ini belum juga saling menyapa. Ada yang menafsirkan agar Obama tidak saja mendekati Clinton, melainkan juga mau berjanji menghilangkan tuduhan rasisme terhadap dirinya. Saran kelompok itu, agar Obama secara publik membebaskan Clinton dari tuduhan telah memainkan kartu ras selama proses pemilihan pendahuluan Partai Demokrat.

Selain itu, kelompok terdekat menyatakan bahwa Bill Clinton ingin Obama menjadikan mantan presiden ini sebagai mentor, pendamping yang akan menuntun Obama melalui liku-liku pemilihan presiden yang keras. Salah seorang dari kelompok ini mengatakan: "Bill ingin dihormati, kembali berperan sebagai negarawan yang lebih senior, dan terbebas dari citra sebagai seorang yang gila kemenangan." Pendeknya, Clinton ingin Obama minta maaf, sekalipun hal itu tidak akan pernah terjadi.

Suara lain mengatakan bahwa Bill Clinton tidak menginginkan itu semua. Justru yang diinginkan Clinton, istrinya diperlakukan dengan penuh hormat atas segala yang telah dicapainya. Juga agar Obama tidak lagi meluncurkan kritik terhadap masa jabatan Clinton selama dua periode, seperti yang dilakukannya dalam masa kampanye pendahuluan.

Akhirnya ada lagi seorang yang dekat dengan keluarga Clinton berpendapat bahwa jalan buntu yang kini terjadi antara Obama dan Clinton "bukanlah masalah besar". Clinton, katanya, suka berhubungan dengan orang-orang yang tidak memperlakukannya dengan baik. Dengan kata lain, Clinton tidaklah seruwet seperti yang dicitrakan sebagian orang.

Dari sekian spekulasi, mana yang mendekati kebenaran? Jelas tidak mudah menjawabnya. Namun, karena Bill Clinton begitu hormat pada istrinya yang sudah "berbaik" dengan Obama, maka budaya belum saling menyapa, saya kira, akan mencair juga pada akhirnya, demi menyongsong kemenangan Partai Demokrat, November 2008. Mari sama-sama kita saksikan!

Ahmad Syafii Maarif
Guru Besar Sejarah, pendiri Maarif Institute
[Perspektif, Gatra Nomor 34 Beredar Kamis, 3 Juli 2008]

No comments: